sang perintang yang hambar,
membedah bumi dengan tudingan,
memaksa membuat perangkap,
pada tali yang dibelitkan.
hurufnya sebagai canda,
menjadi tumbuh parang keritis.
selampit kepang pun terkuncit
memandang sayu pada gerimis.
keranjang hatinya terlihat sudah.
terjatuh berseling silih berganti.
seperti apa yang dihembuskan sebuah malam,
giigil menjerit kedinginan kain langit yang tertenun.
tertegun laras selempang khawatir,
sepuluh tahun mengembara dengan sudi tercemohkan seleksi alam,
hingga kisaran kembali memboyong deretan
lentik yang menghubungkan belutas sarung sarung angin keindahan,
terdiam disebuah lubang yang menjepit palung hati ini.
tiada bergerak,
setelah memperdayakan sebuah kunci ibu pertiwi.
selimut ingkar terpaksa ku jamahi,
sedikit demi sedikit menjadi kursi kenistaan,
enggan beranjak,tiada daya dlam kekuatan.
menerima secangkir air yang diberi,
demi semaian bibit kekasih.
kemarin adalah perkakas luhur yang ku tunggangi.
hanya saja,
raga ini terlalu kecil menahan panasnya.
misteripun berlanjut,
seketika penawar membesi dialam fikir,
kronologis tercipta menjadi gambaran sebuah kelayuan.
tiada yang abadi...
setelah fenomena pertautan zaman,
semakin menjadi penopang kemakmuran insan.
dia adalah sengketa hati berpaling.
menautkan khayal di alam mimpi,
membelikan periuk senang dengan keanggunan.
padahal,satu sisi yang di hapusnya,
adalah keegoisan angkuhnya bayang.
aku menyesal,
ketika bibir terlalu tinggi menyentuh langit.
~pangerancinta~2011