JAKARTA, KOMPAS.com — Pernyataan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono terkait jaringan teroris yang melakukan pengeboman di
halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Kota Solo, Jawa
Tengah, dinilai tidak penting untuk rakyat.
Rakyat membutuhkan
langkah konkret pemerintah dalam penuntasan jaringan terorisme. "Kalau
dari (kelompok) Cirebon emang kenapa? Buat rakyat itu tidak penting.
Buat rakyat, ya, ditangkap," kata Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin
di Kompleks DPR, Senin (26/9/2011).
Menurut Hasanuddin, terlalu
cepat Presiden mengungkap ke publik tergabung jaringan mana pelaku yang
beraksi di Solo. "Kalau Kapolri salah (bicara), bisa SBY yang ralat.
Kalau SBY yang salah, siapa yang ralat?" kata politisi PDI-P itu.
Hasanuddin
mendukung sikap Presiden yang melakukan investigasi internal
kepolisian. Pasalnya, menurut dia, aparat telah kecolongan terkait
ledakan di Solo. Dengan investigasi itu akan terlihat di mana letak
kesalahan. "Hasil investigasi harus disampaikan ke publik," katanya.
Sebelumnya,
menurut Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN) sudah memberi peringatan
dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo juga sudah memberikan
instruksi kepada jajaran Kepolisian. Nyatanya, teror masih terjadi.
Pemerintah setengah hati
Martin
Hutabarat, anggota Komisi III DPR, menilai komitmen pemerintah belum
penuh dalam memberantas terorisme. Penilaian dia berdasarkan tidak
terlihatnya langkah-langkah pemerintah pasca-ledakan bom bunuh diri di
Cirebon, Jawa Barat, pertengahan April 2011 .
"Persoalan
teroris masih merupakan bahaya laten. Pemerintah tidak boleh
setengah-setengah dalam menuntaskan. Pemerintah harus membangun kerja
sama dengan seluruh masyarakat. Ini bukan persoalan salah satu agama.
Ini merupakan kejahatan kemanusiaan," ungkap politisi Partai Gerindra
itu.