|
Jogjakarta, di kota nan tenang ini sekarang diriku terdampar. Angin mengintip gelisahku lewat jendela berkaca nako, sedang semburat bagaskara belum mampu menembus gorden usang didepanku. Ku nikmati hari menjelang pagi disebuah kamar bertuan, di satu rumah yang berhalaman sempit dan dipenuhi rumput rumput perdu. Belum lama buku Nietzsche kugeletakkan disamping koran lecek yang sudah kadalu warsa. Sedetik kemudian kugerakkan kakiku menuju sebuah pintu yang tak lagi siku, ku pegang handelnya dan ku putar pelan. Pintu terbuka seiring aroma debu yang tiba tiba menusuk hidungku. Seketika itu juga aku bersin, dan semua persendianku ditindih rasa nyeri, tapi tak senyeri batinku oleh kejadian yang menimpaku empat bulan yang lalu.
~~~~~~0000ooo0000ooo0000~~~~~~~
“Selamat, anda positif” suara dokter itu lembut di iringi senyum laksana senyum krisna. Seketika keadaan tak berpihak kepadaku, aku bingung diantara membalas senyum teduhnya dan bilang terimakasih atau menjerit sejadi jadinya hingga langit ingin kubelah oleh jeritanku. Biarlah hujan pecah dengan prahara, mewakili tangisku yang tak mungkin terdiam oleh seribu kata kata penghiburan. Tetapi yang terjadi, aku tetap bisa tersenyum walaupun ala kadarnya, dan masih bisa mengucapkan terimakasih atas bantuannya. Segera kuberanjak dari ruangan itu, dengan galau serta hati yang tercabik cabik. Batin ini masih menjerit, merintih. Tuhan, apa yang akan Kau rencanakan padaku? kenapa Engkau biarkan aku membawa benih seorang laki laki laknat yang tega memperkosaku? Kenapa, kenapa?. Ternyata Tuhan tak menjawabku, langkahku masih menyusuri jalan Dago yang tiba tiba bertanya tentang setetes air mata, siapakah gerangan pemiliknya.
Aku lahir dan besar di kota kembang Bandung. Akhir akhir ini, udara di kotaku yang sejuk tak lantas membuat hatiku dingin. Silang sengketa masalah yang menderaku ingin ku redam sendirian, hatiku terlalu kecil untuk mengakui keadaanku. Campur aduk antara malu dan dendam membuat cahaya mataku bagai tersumbat dipelipis dan mati. Kehilangan sesuatu yang paling berharga berjuluk mahkota membuat seolah diriku layu. Bukan hanya layu, bahkan malu. Seandainya mati bunuh diri legal dihadapanMu, sudah kulakukan dengan seribu cara kematian menurut seleraku. Atau bahkan dengan kematianpun tak cukup membuatku terhibur. Dan seandainya duka yang tak berujung ini ternyata harus ku bawa sampai liang kubur, akankah jiwa ini mati? Lantas perih yang mecekam sontak dengan sendirinya hilang seolah tak pernah terjadi suatu apapun? ku kira tidak. Peti matiku bisa sekusam masa laluku dan selanjutnya lapuk dimakan segerombolan rayap, hingga peti mati dan tubuhku dibuatnya mengurai hancur lebur menjadi debu, tak menyisakan sedikitpun kecuali selarik perih yang mengendap abadi dijiwa yg terluka. Akankah jiwa ini akan dipertemukan dengan penciptaku? Ternyata juga tidak. Jiwaku terbang entah kemana tetapi bukan kembali keharibaanNya seperti yang disangkakan kebanyakan orang. Bukan pula terjebak disebuah area siksa tanpa vonis batas waktu, tetapi jiwa ini berubah menjadi kupu kupu bersayap hitam. Kenapa hanya warna hitam, bukankah sayap kupu2 bisa bermacam macam warna? menjadi hitam bukan terjadi begitu saja, oleh sebab duka yang tak tertahan, sayap itu menjadi satu warna, tak ada warna lain lagi, hanya hitam bahkan pekat. Dan malam semakin memperlihatkan kegelapannya ketika bulan enggan keluar, sedangkan suara burung kedasih diatas sebatang dahan menandai konon seseorang akan menemui kematian.
Sampai saat ini, tak seorangpun yang tahu tentang dukaku. Tak seorangpun tahu ada dendam yang meremang disebuah ruang hati, semuanya tersimpan rapi bersama aib yang kadung menyatu dalam tubuh yang tak mungkin berbelah bagi. Buih air yang terkena tepuk ketika seorang ibu mencuci disebuah kali seolah menyindir tentang nasibku, takdirku yang tak lagi bening, tetapi berbuih buih, besaran gelembungnya tak menentu, dan segera hilang ketika air menelan mentah mentah serta menghanyutkan semua yang terapung diatasnya.
“Wahai anak yang tak diharapkan, diamlah dengan tenang, ibu tak akan menyalahkanmu, kau tercipta bukan hanya dari setetes air seorang laki laki, tetapi karena mutlak kehendakNya engkau digariskan menjadi anakku”.
Kereta api senja telah membawaku lari dari semua kenangan pahitku. Selamat tinggal Bandung, didepanku telah menanti sebuah surga baru, dimana batas kekuatanku kan ku undi disini, bersama anak didalam kandunganku yang tak akan pernah tahu tentang segala cerita kelam tentang bundanya. Berusaha tegar diantara kepingan sunyi bahkan menyendiri serta pertanyaan pertanyaan calon tetangga siapa gerangangan ayahmu.
“Berbesarlah hati anakku, akan kujawab mereka : ayahnya adalah samudra raya, dimana setiap larung berjiwa jahat, akan tenggelam dan mengendap didasarnya”.
Dan tiba tiba kakiku telah berada diatas lantai Stasiun Tugu.
Yogyakarta, 2012-02-26 : 12:05:29 Salam Hormat Gigih Santosa
Gigih Santosa mulai gabung sejak tepatnya Minggu, 2012-02-26 09:57:36. Gigih Santosa dilahirkan di Gunung mempunyai motto Hidup adalah jalan untuk kembali kepada Nya.
Cerita Bersambung : 9 Karya Cerita Pendek : 14 Karya Prosa : 1 Karya Puisi : 6 Karya Kisah Nyata non Privacy : 1 Karya Total : 31 Karya Tulis
DAFTAR KARYA TULIS Gigih Santosa
Isi Komentar Diary Perempuan Tak Bernama 3424
BACK
ATAU berikan Komentar mu untuk karya Diary Perempuan Tak Bernama 3424 di Facebook
Terimakasih KASTIL CINTA KU ,
CORNER KASTIL CINTAKU Mutiara Sukma
Saya selalu mencoba untuk merubah setiap bencana menjadi sebuah kesempatan.
MIS Mutiara Sukma : Dian Tandri | Suryantie | Ade Suryani | Arum Banjar Sarie | Ambar Wati Suci | Chintia Nur Cahyanti
|
|